Tujuanpenelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan pengetahuan ayat-ayat Alquran tentang geografi pada mahasiswa jurusan pendidikan Geografi FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah kuantitatif dengan jenis korelasi. websshow_file (\\resources\\views\\webs\\show_file.blade.php) 1 blade Pendidikankecerdasan spiritual Al-Qur'an Surah Al-Muzzammil Ayat 6-10 - Walisongo Repository URGENSI KECERDASAN SPIRITUAL - Pesantren Wirausaha SMPIT-SMAIT NURUL ISLAM SIDOARJO Agar Pikiran Makin Tajam, Ini 5 Amalan dalam Agama Islam yang Bisa Mencerdaskan PERPUS TAKA AN: Cara Menghafal Al Qur'an Menggunakan Otak Kanan cash. Abstrak Kecerdasan emosional merupakan faktor yang menentukan langkah hidup seseorang sehingga mengantarkan pada keunggulan hidup. Goleman menyatakan kecerdasan emosional dapat dilihat dari kemampuan mengenal emosi diri, kemampuan mengelola emosi diri dengan tepat, kemampuan memotivasi diri, kemampuan mengenali emosi orang lain empati dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Berabad-abad sebelum Goleman berbicara mengenai kecerdasan emosional, terdapat ajaran yang telah mengarahkan manusia untuk mencapai kesuksesan dunia maupun akhirat. Wahyu Allah melalui Nabi Muhammad SAW dalam bentuk Al-Qur'an telah mengajarkan manusia untuk meraih kesuksesan hidup. Oleh karena itu berdasarkan studi yang dilakukan terhadap para penghafal Al-Qur'an hafidz Qur'an, penulis ingin membuktikan kecerdasan emosional merupakan bagian dari nilai-nilai Qur'ani. Kata kunci Kecerdasan emosional, Al-Qur'an, Hafidz. Abstract Emotional Intelligence is a factor that become a key to success in life. Goleman define emotional intelligence as the ability to identify, controls, and motivate the emotions of oneself, empathy and engaging good relationships with others. Centuries before Goleman starts to speak about emotional intelligence, Prophets Muhammad SAW tried to spread the message that can make people succeed in life and beyond. This massage summarized as Al-Qur'an. From the study of hafidz Qur'an, author try to acknowledge the emotional intelligence as part of the values of the Al-Qur'an's message. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free SCHEMA - Journal of Psychological Research, Hal. 35-45 35 KECERDASAN EMOSIONAL DALAM AL-QUR’AN 1Stephani Raihana Hamdan 1Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung, Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116 1 Email Abstrak Kecerdasan emosional merupakan faktor yang menentukan langkah hidup seseorang sehingga mengantarkan pada keunggulan hidup. Goleman menyatakan kecerdasan emosional dapat dilihat dari kemampuan mengenal emosi diri, kemampuan mengelola emosi diri dengan tepat, kemampuan memotivasi diri, kemampuan mengenali emosi orang lain empati dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Berabad-abad sebelum Goleman berbicara mengenai kecerdasan emosional, terdapat ajaran yang telah mengarahkan manusia untuk mencapai kesuksesan dunia maupun akhirat. Wahyu Allah melalui Nabi Muhammad SAW dalam bentuk Al-Qur’an telah mengajarkan manusia untuk meraih kesuksesan hidup. Oleh karena itu berdasarkan studi yang dilakukan terhadap para penghafal Al-Qur’an hafidz Qur’an, penulis ingin membuktikan kecerdasan emosional merupakan bagian dari nilai-nilai Qur’ani. Kata kunci Kecerdasan emosional, Al-Qur’an, Hafidz. Abstract Emotional Intelligence is a factor that become a key to success in life. Goleman define emotional intelligence as the ability to identify, controls, and motivate the emotions of oneself, empathy and engaging good relationships with others. Centuries before Goleman starts to speak about emotional intelligence, Prophets Muhammad SAW tried to spread the message that can make people succeed in life and beyond. This massage summarized as Al-Qur’an. From the study of hafidz Qur’an, author try to acknowledge the emotional intelligence as part of the values of the Al-Qur’an’s message. Keyword Emotional intelligence, Al-Qur’an, Hafidz. Pendahuluan Semenjak Nabi Muhammad SAW menerima Al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT, penghafalan terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an mulai dilakukan. Banyak perintah Nabi Muhammad SAW yang mengatakan betapa mulianya seseorang yang berusaha menghafalkan Al-Qur’an. Seperti dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Imam Ahmad, Rasulullah SAW bersabda “Orang yang terbaik di antara kalian ialah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengerjakannya”. Sa’dulloh, 2005 Universitas Islam Bandung Unisba sebagai salah satu perguruan tinggi Islam merupakan bagian dari usaha perjuangan nilai Islam. Unisba berusaha dengan berbagai cara untuk menjaga kemuliaan agama Islam. Salah satu usahanya adalah dengan menerapkan program beasiswa penuh bagi para Stephani Raihana Hamdan 36 Volume 3, Mei 2017 penghafal Al-Qur’an 30 Juz Hafidz Qur’an yang ingin menempuh pendidikan Sarjana di Unisba. Tercatat sebanyak 11 mahasiswa Unisba yang terdaftar resmi sebagai Hafidz Qur’an. Dari hasil wawancara dengan kemahasiswaan Unisba, dosen-dosen dan rekan-rekan mahasiswa yang berinteraksi dengan mahasiswa hafidz, peneliti mendapat gambaran bahwa mahasiswa hafidz ini memiliki tingkah laku unggul, prestatif dan dapat menyesuaikan diri. Mahasiswa hafidz memiliki indeks prestasi tinggi, aktif dalam kegiatan kemahasiswaan, memiliki rasa hormat yang tinggi pada orang yang lebih tua, mampu bersikap tenang bila menghadapi masalah, berdisiplin tinggi dalam mengembangkan ilmu Qur’an dan ibadah serta rendah hati dengan sesamanya. Jika dilihat dari pandangan agama, pembentukan pribadi para hafidz ini tentunya tidak lepas dari pengaruh pendidikan agama, dalam hal ini pendidikan Al-Qur’an yang diterapkan pada dirinya. Nabi Muhammad SAW telah menjanjikan bahwa dengan mengamalkan Al-Qur’an maka sesungguhnya Allah akan meningkatkan derajat seseorang “Sesungguhnya dengan kalam ini Al-Qur’an Allah mengangkat derajat umat dan merendahkan yang lainnya .” HR. Muslim, dalam Rauf, 1996. Peneliti berasumsi bahwa kecerdasan emosional merupakan faktor internal yang menjadikan para hafidz ini menampilkan perilaku prestatif dan menyesuaikan diri dan keunggulan tingkah laku para hafidz sesungguhnya merupakan cerminan pengamalan ajaran Al-Qur’an. Berdasarkan paparan-paparan inilah, peneliti tertarik meneliti lebih jauh bagaimana kecerdasan emosional para mahasiswa penghafal Al-Qur’an Hafidz Qur’an di Unisba. Hal ini dilakukan dalam rangka pembuktian asumsi bahwa mahasiswa hafidz Qur’an memiliki kecerdasan emosi tinggi yang merupakan hasil dari nilai Al-Qur’an yang mereka hafalkan dan amalkan. Metode Penelitian mengenai kecerdasan emosional pada mahasiswa penghafal Al-Qur’an hafidz Qur’an di Fakultas Dirosah Islamiyyah Universitas Islam Bandung adalah suatu penelitian yang dibahas secara deskriptif. Sedarmayanti, 2002 Subjek penelitian adalah mahasiswa penghafal Al-Qur’an hafidz Qur’an di Fakultas Dirosah Islamiyyah Universitas Islam Bandung. Variabel yang diukur adalah variabel kecerdasan emosional emotional intelligence yang didasarkan pada teori Daniel Goleman. Alat ukur penelitian ini adalah modifikasi dari alat ukur EQ-I Bar-On sehingga alat ukur disesuaikan dengan fenomena penelitian ini. Alat ukur EQ-I ini diadaptasikan peneliti kedalam 120 item yang menjaring aspek-aspek kecerdasan emosional diri subjek penelitian. Subjek diminta untuk menentukan apakah pernyataan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan kondisi dirinya. Setiap item memiliki alternatif jawaban yang menunjukkan derajat kesesuaian dan ketidaksesuaian dengan diri. Penilaian skala Kecerdasan Emosional menggunakan pendekatan Likert yakni Summated Rating Scale. Azwar, 2004. Kecerdasan Emosional dalam Al-Qur’an SCHEMA - Journal of Psychological Research, Hal. 35-45 37 Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif dengan menggunakan metode statistik persentase %. Alasan mempergunakan teknik persentase ini adalah dikarenakan data yang digunakan ordinal, data yang didapat bersifat kuantitatif dan data statistik berbentuk non parametrik. Nilai kategori tinggi bila ≥ 50 %, sedangkan nilai kategori rendah bila < 50 %. Hasil Pembahasan Tabel 1 Hasil Persentase Kecerdasan Emosional Berdasarkan diagram di atas, maka dapat disimpulkan bahwa 81,82 % 9 orang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Hal ini berarti kebanyakan mahasiswa hafidz mampu mengenali perasaan dirinya, dan kemudian mengelola emosinya tersebut agar dapat bertindak konstruktif, dengan kemampuan mengelola emosi dengan baik, para hafidz mampu memotivasi diri untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Para hafidz juga memiliki kapasitas untuk memahami orang lain guna menjalin hubungan sosial yang efektif. Peneliti menemukan faktor kesamaan yang menonjol pada kesembilan subjek berkategori tinggi adalah memiliki latar belakang pendidikan pesantren, bahkan enam diantaranya berasal dari pesantren yang sama. Meski pada dasarnya proses belajar meningkatkan kecerdasan emosi dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja, namun kondusifitas lingkungan pendidikan pesantren dapat memberikan peranan dalam membentuk kecerdasan emosional subjek menjadi lebih tinggi. Hal ini ditunjang oleh hasil penelitian dari Muthmainah 1998 yang membuktikan bahwa lingkungan pesantren berpengaruh terhadap kecerdasan emosional para santrinya. Stephani Raihana Hamdan 38 Volume 3, Mei 2017 Hasil Pengukuran Kecerdasan Emosi Berdasarkan Aspek Tabel 2 Aspek-aspek Kecerdasan Emosional Aspek Mengenali Emosi Diri Aspek Mengelola Emosi Diri Aspek Membina Hubungan Dengan Orang Lain Aspek Mengenali Emosi Diri Secara keseluruhan 10 subjek penelitian memiliki kemampuan mengenal emosi diri yang tinggi dengan persentase 91 %. Para hafidz memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri mereka. Mereka mengevaluasi kekuatan dan batas-batas diri sehingga dapat mengetahui hal-hal yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Hal ini terjadi karena para hafidz berasal dari lingkungan keluarga, sekolah dan organisasi yang melaksanakan aturan agama Islam yang mendidik bagaimana para hafidz harus bersikap dan bertingkah laku Islami. Batasan norma agama ini terus terjaga karena para hafidz ini berada di lingkungan yang diwarnai nilai-nilai Islam. Selain itu proses menghafalkan Al-Qur’an yang dijalani para hafidz semenjak mereka masih remaja menuntut mereka untuk menjaga perilakunya agar sesuai dengan aturan agama dan menjauhi segala kegiatan yang bersifat sia-sia laghwu. Para hafidz dilatih untuk senantiasa memantau keadaan diri muraqabah agar perbuatan dirinya tetap dalam ketakwaan. Dari hasil analisa item, 1 subjek yang masih rendah, merupakan subjek termuda yang masih yang berada dalam tahap transisi dari remaja akhir ke dewasa awal sehingga memungkinkan adanya penghayatan diri yang merasa belum sepenuhnya mencapai kedewasaan sehingga membuat dirinya belum menerima keadaan dirinya apa adanya. Namun hal ini berpotensi meningkat bila ia mulai mencapai kedewasaan diri. Maka dalam pengertian Islam, dimensi kesadaran diri sesungguhnya dikenal sebagai proses muraqabah dan muhasabah. Muraqabah adalah suatu proses dalam diri manusia saat mengawasi amal perbuatannya dengan mata yang tajam. Hawwa, 1998 Hal ini didasarkan pada An-Nisaa [4] 1 yang berbunyi “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” Rasulullah bersabda bahwa hendaknya umat muslim senantiasa mengawasi amal perbuatan diri sebagaimana hadits Abu Nu’aim berikut “Beribadahlah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, sekalipun kamu tidak melihat-Nya tetapi Dia melihatmu.” Proses kesadaran diri yang kedua adalah muhasabah. Muhasabah adalah menilai dan menimbang kebaikan serta keburukan yang telah diperbuat oleh diri. Hal Kecerdasan Emosional dalam Al-Qur’an SCHEMA - Journal of Psychological Research, Hal. 35-45 39 ini menjadi ladang koreksi diri untuk memperbaiki amal ibadah di masa depan. Ghazali, 2008 Koreksi diri ini didasarkan pada ayat berikut ini “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok akhirat, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Al-Hasyr [59] 18 Al Hasan bin Ali ra pernah berkata “Orang mukmin selalu mengevaluasi dirinya, ia menghisabnya karena Allah. Hisab akan menjadi ringan bagi orang-orang yang telah menghisab diri mereka di dunia dan akan menjadi berat pada hari kiamat bagi orang-orang yang mengambil perkara ini tanpa muhasabah.” Hawwa, 1998 Proses muraqabah dan muhasabah merupakan bagian penting dalam hidup seorang muslim. Dengan alat inilah, seseorang mengetahui sejauhmana kebaikan dan keburukan yang telah ia perbuat, batas kemampuan dirinya dan menjadi tolok ukur diri dalam menentukan rekonstruksi amal ibadahnya di masa didepan. Aspek Mengelola Emosi Diri Berdasarkan perhitungan hasil data pengukuran aspek mengelola emosi diri mahasiswa hafidz Al-Qur’an Unisba, didapat bahwa sebanyak 72,7 % 8 orang subjek penelitian memiliki kemampuan mengelola emosi yang tinggi dan sebanyak 3 orang berkategori rendah. Sebanyak 10 orang subjek lain yang mendapat kategori tinggi memiliki kemampuan dalam mengelola emosi mereka sehingga mampu mengelola dengan baik perasaan-perasaan impulsif dan emosi-emosi yang menekan mereka. Mereka mampu bersikap tenang dan memiliki kejernihan emosi. Hal ini berbeda dengan memendam emosi yang dapat memberikan efek negatif. Dari hasil wawancara dengan para hafidz, biasanya mereka bercerita dan bertukar pendapat dengan teman atau guru agama. Saat bercerita dan bertukar pendapat itulah para hafidz diingatkan kembali pada nasihat kesabaran, dimana sabar menurut pandangan Islam yang dianut kuat para hafidz merupakan pilihan utama dalam menghadapi segala situasi. 3 orang berkategori rendah menyatakan memiliki hambatan untuk bercerita dan bertukar pendapat dengan ini perlu dinilai dari sudut pandang para hafidz yang sangat menjaga tutur kata dan perbuatan mereka sehingga cenderung sangat menjaga perkataan dari kata-kata yang buruk yang mungkin muncul bila mereka bercerita. Dalam Islam, kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri disebut sabar. Orang yang paling sabar adalah orang yang paling tinggi dalam kecerdasan emosionalnya. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesulitan. Ketika belajar orang ini tekun. Ia berhasil mengatasi berbagai gangguan dan tidak memperturutkan emosinya. Ia dapat mengendalikan emosinya. Kemampuan bersikap tenang dan memiliki kejernihan emosi berkaitan dengan kemampuan mereka meregulasikan emosi. Ibadah yang dilakukan oleh para hafidz untuk mengendalikan emosi yang dirasakan sehingga memperoleh kembali ketenangan, diantaranya adalah membaca Al-Qur’an, mengingat Allah dzikir dan Stephani Raihana Hamdan 40 Volume 3, Mei 2017 shalat. Ketika manusia merasakan gejolak emosi di dalam dirinya, Al-Qur’an menganjurkan manusia untuk mengendalikan emosi yang dirasakan. Sesungguhnya mengontrol diri dengan mengingat Allah. Hal ini sesuai dengan Q. S. Ar-Rad [13] 28 yang berbunyi “Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” Aspek Motivasi Berdasarkan perhitungan hasil data pengukuran aspek memotivasi diri mahasiswa hafidz Al-Qur’an Unisba, didapat bahwa sebanyak 81,8 % 9 orang subjek penelitian memiliki kemampuan memotivasi diri yang tinggi, hanya 2 orang berkategori rendah yaitu A dan E. Prestasi menjadi hafidz Al-Qur’an merupakan manifestasi dari kemampuan motivasi yang tinggi. Proses menghafal dan mempertahankan hafalan Al-Qur’an didasari adanya motivasi tinggi, semangat dan ketekunan. mereka merasa terdorong untuk melakukan hal dengan lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan merupakan bagian dari aspek memotivasi diri. Jika dilihat dari latar belakang pendidikan Al-Qur’an yang didapatkan para mahasiswa hafidz, mereka terbiasa untuk melakukan hal yang lebih baik. Dimulai dari kebiasaan memperbaiki bacaan Al-Qur’an setiap harinya. Mereka dituntut memperbaiki bacaan Al-Qur’an agar sesuai kaidah hukum tajwid sebagai standar keberhasilan. Dorongan untuk melakukan hal yang lebih baik ini didasarkan anjuran dari Nabi SAW untuk melakukan hal lebih baik dari kemarin, karena jika sama atau kurang maka sesungguhnya diri kita merugi. Pada subjek E didorong mengkhatamkan hafalan Al-Qur’an oleh kakak perempuannya. Kesepuluh hafidz Al-Qur’an memiliki motivasi internal dan tidak terdorong oleh siapapun untuk menjadi hafidz Al-Qur’an. Hal ini dapat menjadi pertimbangan dalam menginterpretasikan kemampuan motivasi prestasi subjek E. Pada subjek A, ia menjadi satu-satunya subjek yang tidak berasal dari lingkungan pesantren. Ia tidak mengalami lingkungan kondusif yang dapat mengajarkannya mempertahankan motivasi secara konsisten. Dimensi motivasi menurut Goleman 2005 adalah kecerdasan untuk menggunakan hasrat kita menuju sasaran, membantu kita mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif dan bertahan menghadapi kegagalan dan frustrasi. Hal ini senanda dengan motivasi yang didefinisikan sebagai segala sesuatu yang menjadi pendorong tingkah laku yang menuntut atau mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhan. Shaleh & Wahab, 2004 132 Menurut Dr. Baharuddin 2004, ibadah merupakan motivasi utama manusia dalam berperilaku. Hal ini dikarenakan sesungguhnya manusia tidak lain diciptakan untuk menyembah Tuhannya. Allah SWT telah mewahyukan hal ini dalam Adz-Dzaariyat [51] 56 yang berbunyi ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” Selain itu Allah SWT juga berfirman bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia tidak lain untuk Kecerdasan Emosional dalam Al-Qur’an SCHEMA - Journal of Psychological Research, Hal. 35-45 41 beribadah karena Allah ”Katakanlah Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” Al-An’aam [6] 162 Al-Qur’an memiliki banyak sekali kandungan ayat-ayat yang mendorong manusia untuk beribadah dan melakukan perbuatan sebaik-baiknya. Hal ini dapat menjadi sumber inspirasi kaum muslimin untuk melakukan ibadah dan terus memotivasi diri untuk berkarya di jalan Allah SWT. Meskipun Allah telah menentukan takdir seseorang, namun Allah tidak memerintah manusia berdiam diri menunggu takdir ditetapkan baginya. Allah memerintah manusia untuk berusaha mencari nafkah dan berusaha terus menerus memperbaiki dirinya. Allah SWT menyatakan dalam firman-Nya ”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Ar-Ra’d [13] 11 “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” Al-Qashash [28] 77 Al-Qur’an juga memerintahkan kepada umat manusia untuk terus termotivasi untuk melakukan aktivitas kebaikan. Manusia harus memotivasi diri untuk melakukan kebaikan dengan tetap meniatkan perbuatannya karena Allah semata. Hal ini sesuai dengan wahyu Allah dalam Q. S. Al-Maidah [5] 48 yang menyatakan “Maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali semuanya...” Aspek Empati Berdasarkan perhitungan hasil data mahasiswa hafidz Al-Qur’an Unisba, didapat bahwa seluruh subjek penelitian 100 % memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengenali emosi orang lain empati. Hal ini menunjukkan seluruh mahasiswa hafidz Al-Qur’an menghayati mereka mampu memahami perasaan orang lain dan memiliki minat pada orang lain. Mereka mampu memperhatikan dan membaca isyarat emosi orang lain. Mereka menunjukkan kepekaan dan mampu memahami perspektif orang lain. Menurut Goleman 2005, dimensi empati merupakan kemampuan untuk merasakan yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perpektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyeleraskan diri dengan bermacam-macam orang. Dalam pandangan Islam, Allah SWT menganjurkan pada kaum beriman untuk saling menyebarkan kasih sayang dan saling menghibur dikala duka dengan pesan sabar. Hal ini sesuai dengan ayat dibawah ini ”Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” Al-Balad [90] 17 ”Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih sayang.” Maryam [19] 96 Dalam berkasih sayang, Rasulullah juga menganjurkan kepada kaum muslimin untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain layaknya mereka dalam satu tubuh. Stephani Raihana Hamdan 42 Volume 3, Mei 2017 Berikut ini hadits yang diriwayatkan Muslim dan Ahmad yang menyatakan hal tersebut Hasan, 2006 ”Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling rasa cinta dan kasih sayang mereka adalah seperti satu tubuh yang apabila ada salah satu anggotanya yang mengeluh sakit, maka anggota-anggota tubuh lainnya ikut merasa sakit.” Anjuran diatas sesungguhnya merupakan nasihat kepada manusia untuk berempati saat berhubungan dengan orang lain. Selain itu banyak ayat dalam Al-Qur’an yang memerintahkan diri manusia untuk saling mengenal dan menjaga silaturahim. ”Dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. ” An-Nisaa’ [4] 1 Aspek Keterampilan Sosial Sebanyak 81,8 % 9 orang mahasiswa hafidz Al-Qur’an secara keseluruhan memiliki kemampuan yang tinggi dalam membina hubungan dengan orang lain. Jika dilihat hanya subjek A dan E yang memiliki skor yang rendah adalah dua subjek yang juga memiliki kategori kecerdasan emosional yang rendah secara keseluruhan pula. Maka tidak salah jika Goleman mengatakan seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi dalam aspek ini dikatakan sebagai orang memiliki kecermerlangan emosional. Goleman, 1996 Maka dari itu, peneliti memandang bahwa dasar subjek A dan E memiliki skor rendah dalam aspek ini, tidak jauh berbeda dari alasan mengapa subjek A dan E memiliki skor rendah dalam kecerdasan emosional secara keseluruhan. Kegagalan A dan E dalam memiliki kemampuan berbagai aspek sebelumnya berkontribusi yang cukup signifikan dalam menentukan skor rendah kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Dimensi keterampilan sosial menurut Goleman 2005, merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar; menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan dan untuk bekerjasama dalam kelompok. Kegiatan para hafidz yang bergerak di bidang dakwah Islam tentunya mendorong meningkatnya kemampuan menjalin relasi dengan orang lain ini. Sesungguhnya Islam merupakan agama yang menekankan pentingnya kehidupan sosial. Pada dasarnya ajaran Islam mengajarkan manusia untuk melakukan segala sesuatu demi kesejahteraan bersama, bukan pribadi semata. Islam menjunjung tinggi tolong menolong, saling menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan, kesamaan derajat egaliter, tenggang rasa dan kebersamaan. Bahkan dalam Islam, Allah menilai ibadah yang dilakukan secara berjamaah atau bersama-sama dengan orang lain nilainya lebih tinggi daripada shalat yang dilakukan perorangan, dengan perbandingan 27 derajat. Nata, 2006 88 Banyak sekali ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menganjurkan untuk menjaga hubungan sosial dengan baik, salah satunya dengan membangun kekompakan dan kerjasama dalam kebaikan didalamnya. ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa.” Al-Maa’idah [5] 2 ”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama Allah, dan janganlah kamu Kecerdasan Emosional dalam Al-Qur’an SCHEMA - Journal of Psychological Research, Hal. 35-45 43 bercerai berai.” Ali-Imran [3] 103 ”Orang mukmin bagi mukmin yang lain seperti bangunan, sebagian menguatkan sebagian yang lain.” HR. Bukhari dan Muslim, dalam Hawwa, 1998 Dalam hubungan sosial, faktor kepemimpinan sangatlah memegang peranan penting. Allah SWT sangat memperhatikan hal ini, hingga memerintahkan manusia untuk taat pada pemimpin langsung setelah perintah menaati Allah dan Rasul-Nya. ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al Qur'an dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” An-Nisaa [4] 59 Dalam ayat ini juga disampaikan bahwa dalam kehidupan kelompok seringkali terjadi perbedaan pendapat yang dapat menjadi bibit perpecahan. Allah memberikan tuntunan kepada manusia untuk menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai dasar untuk memecahkan permasalahan. Al-Qur’an juga memerintah manusia untuk menebarkan kebajikan, menyelesaikan pertikaian dan menjalin kasih sayang diantara sesama manusia. Hal ini sesuai dengan Q. S. An-Nisa [4] 114 yang berbunyi “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh manusia memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” Mengadakan perdamaian sangat dianjurkan oleh ajaran Islam sehingga dikatakan dapat menjauhi seseorang dari api neraka sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi. Hawwa, 1998 Masih banyak adab-adab yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam menjaga hubungan sosial. Namun pada dasarnya ketika berhubungan dengan orang lain hendaknya memperlakukan mereka sebagaimana kita hendak diperlakukan. Hal ini didasarkan pada hadits Muslim yang menyatakan bahwa “Siapa yang ingin dijauhkan dari api neraka dan masuk surga, maka hendaklah dia mati dalam keadaan bersaksi tiada Ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan hendaklah memperlakukan orang dengan apa yang disukainya untuk diperlakukan terhadap dirinya.” Hawwa, 1998 Simpulan dan Saran Dari data-data yang telah diperoleh menunjukkan bahwa secara rata-rata, kelompok mahasiswa hafidz Al-Qur’an ini memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, dengan persentase di atas 80 %. Hal ini berarti para hafidz mahasiswa hafidz Al-Qur’an memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengenali emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain empati dan membina hubungan dengan orang lain. Hal ini tidak lain cerminan dari nilai-nilai Al-Qur’an yang senantiasa mereka hafalkan dan usahakan untuk diamalkan. Stephani Raihana Hamdan 44 Volume 3, Mei 2017 Hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran bagaimana budaya keislaman yang melekat kuat pada diri hafidz mampu meningkatkan kecerdasan emosional. Hal ini dapat menjadi contoh agar menerapkan pendidikan agama, khususnya pendidikan agama Islam dengan pendekatan kultural, tidak hanya sebagai mata pelajaran agama yang bersifat pengetahuan kognitif semata. Keberhasilan pendidikan pesantren dan lembaga tahfidz dalam mendidik kadernya menjadi pribadi dengan kultur Islami patut menjadi pelajaran. Daftar Pustaka Azwar, Saifuddin. 2004. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta Pustaka Pelajar. An-Najati, Utsman. 2000. Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa. Bandung Penerbit Pustaka. Az-Za’balawi, Sayyid Muhammad. 2007. Pendidikan Remaja antara Islam dan Ilmu Jiwa. Jakarta Gema Insani Press. Baharuddin. 2004. Paradigma Psikologi Islami. Yogyakarta Pustaka Pelajar. Ghazali, Imam. 2008. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin. Jakarta Sahara Publishers. Goleman, Daniel. 1996. Emotional Intelligence Kecerdasan Emosional Mengapa EI lebih penting daripada IQ. Jakarta PT Gramedia Pustaka Utama. Goleman, Daniel. 2005. Working With Emotional Intelligence Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta PT Gramedia Pustaka Utama. Hasan, Aliah B. Purwakania. 2006. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta PT RajaGrafindo Persada Hawwa, Said. 1998. Menyucikan Jiwa Intisari Ihya’ Ulumuddin Al-Ghazali. Jakarta Robbani Press. Muthmainah. 1998. Skripsi ”Pengaruh Lamanya Tinggal di Lingkungan Pondok Pesantren Terhadap Kecerdasan Emosional Pada Santri Pesantren Daarul Ulum di Bogor”. Bandung Fakultas Psikologi Unisba. Rauf, Abdul Aziz Abdur. 1996. Kiat Sukses Menghafal Al Qur’an. Jakarta Dzilal Press. Sa’dulloh, H. 2005. Metode Praktis Menghafal Al-Qur’an, Kunci Sukses Menjadi Seorang Hafidz. Sumedang Pondok Pesantren Al-Hikamussalafiyyah Kecerdasan Emosional dalam Al-Qur’an SCHEMA - Journal of Psychological Research, Hal. 35-45 45 Sedarmayanti. 2002. Metodologi Penelitian. Bandung CV Mandar Maju. Shaleh, Abdul Rahman & Wahab, Muhbib Abdul. 2003. Psikologi Dalam Perspektif Islam. Jakarta Prenada Media ... Aspek-aspek kecerdasan emosi yang telah dijelaskan oleh Goleman telah ada di dalam Al-quran Hamdan, 2017. Aspek-aspek tersebut meliputi 1 aspek mengenali emosi diri yang merupakan dimensi kesadaran diri, dalam pandangan Islam lebih dikenal dengan istilah muraqabah QS. ...... Subjek telah memahami bahwa Al-qur'an telah menjelaskan Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang berjudul "Kecerdasan emosional dalam Al-qur'an". Subjek penelitian ini adalah mahasiswa penghafal Al-qur'an hafidz Al-qur'an di Fakultas Dirosah Islamiyyah Universitas Islam Bandung Hamdan, 2017. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata mahasiswa hafidz A-qur'an memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dengan persentase di atas 80%. ...Zhila JannatiDwi Bhakti Indri will be able to face various challenges in daily life if emotional intelligence is well developed. This study aims to find out how the psychoeducational group assisted with Al-quran can be a solution to improve student emotional intelligence. This research was used qualitative research method with 8 participants of Islamic Guidance and Counseling departement of Islamic State University UIN Raden Fatah Palembang. The results of this study indicate that emotional intelligence of students, which includes recognizing self-emotion, managing emotions, motivating oneself, recognizing the emotions of others, and building relationships, can be improved by giving psychoeducational group assisted with Al-qur'an. From the results of these studies it can be concluded that the psychoeducational group assisted with Al-qur'an can be a solution to improve student emotional intelligence.... Dengan syarat tersebut maka bangsa Indonesia dituntut untuk tetap menjaga eksistensi seni angklung dengan tetap menjaga dan memajukan seni angklung konsekuensinya sektor pendidikan memainkan peran penting dalam mentransmisikan cita-cita yang terkandung di dalamnya untuk mentransmisikan nilai-nilai yang terkandung dalam seni angklung ini kepada generasi mendatang sistem pendidikan sangat penting Bastari, Moh Ihsan,Fortunata Tyasrinestu, 2022 Lestari, 2022 Indonesia memiliki beragam alat musik tradisional antara lain kendang, Bonang saron, demung, kenong, angklung, gambang, gong kempul, dan alat musik tiup sebuah alat musik perkusi dari bambu yang dikenal sebagai angklung digoyangkan untuk menghasilkan suara jika dilihat dari bentuk desainnya tindakan menggoyangkan melibatkan tumbukan antara ruas-ruas bambu pangkal dengan kaki angklung Setyawati et al., 2017 Kecerdasan adalah sesuatu yang dimiliki atau nilai-nilai lebih dari setiap manusia dalam mengembangkan pola pikirnya sehingga mampu berkembang dan berpikir dengan jernih untuk menimbang, memutuskan serta menghadapi sesuatu dengan berpusat pada masalah yang dihadapi dengan solusi cemerlang Nur Efendi, 2021 Busthomi et al., 2020. Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali emosi diri dan orang lain kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain Raihana, 2017. Kecerdasan intelektual adalah kemampuan seseorang untuk memahami dunia luar Nurfalah, 2016. ...Desi PristiwantiUjang JamaludinKemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain, sangat penting dalam proses pembelajaran, salah satunya adalah bagaimana mengelola dan meningkatkan kecerdasan emosional siswa di sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran musik angklung dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa dan sebagai bentuk implementasi pelestarian budaya daerah, Mengenalkan musik angklung sebagai kearifan lokal yang perlu dilestarikan dan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran. Dimana dalam pelajaran Pendidikan Pancasila kelas 4 sekolah dasar terdap at materi tentang keragaman budaya, mulai dari rumah adat, Bahasa, suku bangsa dan kesenian tradisional. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus dan menggunakan model Miles dan Huberman, yang mengemukakan tiga tahapan yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan. Dengan analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analitik. Tujuan selanjutnya adalah bahwa dengan bermain musik angklung di sekolah dapat meningkatkan kecerdasan emosional siswa dengan baik. Hal ini terlihat adanya perubahan sikap perubahan emosi pada siswa menjadi lebih empati, sabar, disiplin, memupuk kerjasama dan kekompakan.... Centuries before Goleman talked about emotional intelligence, some teachings had directed humans to achieve success in this world and the hereafter. Allah's revelation through the Prophet Muhammad SAW in the form of the Qur'an has taught humans to achieve success in life Hamdan, 2017. ...Hasbiyallah Hasbiyallah Faznah MursyidiArum NingsihThe COVID-19 pandemic has attacked the fabric of human life. However, activities must continue, including in the field of education. This event is known as the "New Normal". In the educational environment, especially in Islamic boarding schools, there is one problem that arises, namely the lack of stable emotional control of students caused by fear and worry about the COVID-19 virus. This is because they are far from their families and have to start adapting to the new learning system. This study aimed to determine the relationship between remembrance activities and emotional control of the students of the Annida Al-Islamy Islamic Boarding School in the new normal era. In this study, a quantitative approach was used, with the correlational method. Data collection techniques were carried out by giving questionnaires to 60 students, interviews, and documentation. The results of the research are 1 The activity of remembrance at the Annida Al Islamy Islamic Boarding School in the new normal era is categorized as high; 2 The emotional control of students is categorized as strong; 3 The relationship between the two is highly correlated. Pandemi COVID-19 telah menyerang tatanan kehidupan manusia. Akan tetapi, aktivitas harus tetap berjalan, termasuk juga di dalamnya bidang pendidikan. Peristiwa ini dikenal dengan istilah “New Normal”. Dalam lingkungan pendidikan, khususnya di pesantren terdapat salah satu masalah yang timbul yakni kurang stabilnya pengendalian emosi santri yang disebabkan rasa takut dan khawatir terhadap virus COVID-19. Hal ini dikarenakan keadaan mereka yang jauh dari keluarga serta harus mulai beradaptasi dengan sistem pembelajaran baru. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui adanya hubungan antara aktivitas riyadlah zikir dengan Pendidikan pengendalian emosi santri Pondok Pesantren Annida Al-Islamy di era new normal. Pada penelitian ini digunakan pendekatan kuantitatif, dengan metode korelasional. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan memberikan angket kepada 60 santri, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian yang didapat adalah 1 Aktivitas zikir di Pondok Pesantren Annida Al Islamy pada era new normal berkategori tinggi; 2 Pengendalian emosi santri berkategori kuat ; 3 Hubungan antara keduanya berkorelasi tinggi.... Human intelligence is only half used if people only focus on physical and/or mental intelligence. Islam also perceives EI as intelligence for it influences people's mental ability to perceive, manage and recognise basic emotions that may arise because of numerous influences Hamdan, 2017. However, the essence of EI in the Islamic perceptive focuses more on having the ability to know, understand, manage or control and distinguish emotions that are encouraged by Islamic teachings from the emotions that are discouraged or forbidden by Islam, which need to be properly regulated to have a positive effect on the relationships with oneself, others and God Al-Domi, 2015;Bauer, 2017. ...Purpose This paper aims to examine the effects of taqwa God-consciousness and syukr gratitude to God on emotional intelligence EI in a Muslim population in Malaysia. Design/methodology/approach Structural equation modelling tool AMOS was used to test the study’s hypotheses. In total, data were sourced from 302 Muslim employees working in Malaysia's public and private sectors. Findings Taqwa and syukr positively influence EI, and people with taqwa and syukr demonstrate greater levels of self-emotional appraisal compared with other emotional appraisals. This study also shows that people with taqwa and syukr give increased priority to understanding and distinguishing positive and negative emotions because of their understanding of Islamic teachings. They also exhibit concern with knowing their emotions well before advising or responding to the emotions of others. This may increase their sense of empathy, thereby improving their emotional competency and EI. Originality/value The findings indicate that taqwa and syukr predispose Muslims to EI. This study applied the Qur’anic model of self-development, which connects the origin of emotion with the soul, thereby further enriching the literature on the subject. It also highlights the importance of taqwa and syukr to Muslim employees for achieving EI that is useful in creating a harmonious atmosphere in the workplace and prosperous relationships in society.... Masih ada kecerdasan manusia yang sangat berpengaruh terhadap proses belajar siswa, yakni kecerdasan emosional. Dengan adanya berbagai penelitian dan kajian para ahli, maka mulai sepakat bahwa sebenarnya di dalam diri manusia telah berkembang tipe-tipe kecerdasan selain kecerdasan intelektual, yakni kecerdasan spiritual serta kecerdasan emosional Syaparuddin & Elihami, 2017;Hamdan, 2017;Drigas & Papoutsi, 2018;Wardani, 2019;Maccann et al., 2020. Nyatanya, kecerdasan intelektual belum mampu dijadikan sebuah jaminan dalam menentukan keberhasilan hidup seorang individu Budianti & Permata, 2017. ...Dhanu Widi WijayaDini Nurainy Gita SaputriAgung Bayu WicaksonoMenghargai karya sastra bagian dari motivasi yang penting dalam menumbuhkan sikap yang kritis berdasarkan emosi serta membentuk gaya hidup yang membahagiakan bagi orang lain. Kemampuan apresiasi puisi yang dimiliki setiap siswa masing-masing berbeda, hal tersebut diduga dipengaruhi oleh kecerdasan emosional, perilaku belajar, serta kepercayaan diri. Tujuan penlitian ini untuk menganalisis pengaruh kecerdasan emosional, perilaku belajar, serta kepercayaan diri secara parsial dan simultan terhadap kemampuan mengapresiasi puisi pada siswa SMA/Sederajat di Kecamatan Borobudur. Penelitian ini dilakukan di SMA/sederajat di Kecamatan Borobudur pada tahun 2020. Sampel penelitian berjumlah 125 siswa dengan teknik purposive sampling. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda melalui software IBM SPSS versi 25. Hasil penelitian menemukan beberapa simpulan yaitu kemampuan mengapresiasi puisi dipengaruhi oleh kecerdasan emosional secara positif dan signifikan, kemampuan mengapresiasi puisi dipengaruhi oleh perilaku belajar secara positif dan signifikan, kemampuan mengapresiasi puisi dipengaruhi oleh kepercayaan diri secara positif dan signifikan, dan secara simultan kecerdasan emosional, perilaku belajar, serta kepercayaan diri berpengaruh dengan signifikan terhadap kemampuan mengapresiasi Della PermatasariEmotional intelligence in children is very important for their growth and development. The role of parents is very supportive, especially during the COVID-19 pandemic. The role of parents is not only developing intellectual, but also emotional intelligence. The purpose of this study is to determine the role of parents in developing emotional intelligence in the perspective of Islam during the COVID-19 pandemic. The research method is triangulation combination of interviews, observations, and documentation. The results showed five parental roles, namely 1 supervising, 2 helping, 3 establishing communication, 4 giving responsibilities, 5 motivating children, and directing. The role of parents is still low at the supervision stage, where supervision by parents at this stage is difficult because children at this age are at the stage of exploration of the surrounding BahrudinSobar Al GhazaliAlhamuddinEducation as a scientific activity must be based on the principles of faith and monotheism. The Qur'an in every discussion about science knowledge is inseparable from the value of faith. Experts formulate educational goals to form students to have strong faith, have noble character, and have useful knowledge. As explained in the Al-Qu'an Surah Ali Imraan verses 137-138, it calls on humans to learn and take lessons and examples from the previous people. So that human beings can walk on this earth following the provisions of Allah SWT in order to avoid human groups who lie to Allah SWT. This research uses descriptive-analytical method. The collection technique uses library research by examining in depth various interpretations, books and articles related to the main research problem. From this research, it is concluded that an educator must have a synergy of faith, noble character, in order to have useful knowledge. The implications contained in the Qur'an Surah Ali Imrran Verse 137-138 are 1 So that humans can take lessons from past history, from the sunnahs of Allah that applied to humans before. 2 So that humans know the way of life that is straight and true, where the Qur'an is the one who becomes the educator and becomes the light of the way of human life. 3 In order for humans to become educators to create human beings who are faithful, knowledgeable and civilized, it is impossible for education providers alone, there must be intervention from parents/guardians of students and the community, which is very important in monitoring so that they become pioneers of education at home and in their respective environments each. Abstrak. Pendidikan sebagai aktivitas ilmu pengetahuan harus dilandasi prinsip keimanan dan ketauhidan. Al-Qur’an dalam setiap pembicaraanya tentang ilmu pengetahuan tidak terlepas dari nilai keimanan. Para ahli merumuskan tujuan pendidikan untuk membentuk para peserta didik memiliki keimanan yang kuat, berakhlak mulia, dan memiliki ilmu yang bermanfaat. Sebagaimana di jelaskan di dalam Al-Qu’'an surat Ali Imraan ayat 137-138, menyeru kepada manusia agar belajar dan mengambil hikmah dansuri tauladan dari umat terdahulu. Aagar umah manusian dapat berjalan di muka bumi ini mengikuti ketentuan-ketentuan Allah SWT agar terhindar dari golongan manusia yang berdusta kepada SWT. penelitian ini menggunakan Metode deskriptif-analitis, Teknik pengumpulan menggunakan kepustakaan library research dengan mengkaji secara mendalam dari berbagai tafsir, buku dan artikel yang berhubungan dengan pokok masalah penelitian. Dari penelitian ini, diperoleh simbpulan bahwa seorang pendidik harus memiliki sinergitas keimanan, berakhlak mulia, agar mempunyai lilmu yang bermanfaat. Implikasi yang terdapat dalam Al-Qur’an Surat Ali Imrran Ayat 137-138 adalah 1 Agar manusia bisa mengambil pelajaran dari sejarah masa lalu, dari sunnah-sunnah Allah yang berlaku pada manusia sebelumnya. 2 Agar manusia mengetahui jalan hidup yang lurus dan benar, dimana Al-Qur’an lah yang menjadi pendidik dan menjadi penerang jalan hidup manusia. 3 Agar manusia dapat menjadi pendidik untuk mewujudkan manusia yang beriman, berilmu dan beradab tidak mungkin dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan semata, harus ada campur tangan orang tua/wali murid serta masyarakat sangat penting dalam memonitoring hingga menjadi pelopor pendidikan di rumah dan di lingkungan masing-masing. Muafi UiiThis study aims to examine and analyze the influence of emotional intelligence in Islamic persepctive on affective commitment moderated by “diuwongke” in Islamic perspective. This study uses quantitative approach with the sample of public banks employees in Central Java who has Islam religion. The sampling technique is using purposive sampling with certain criteria, and the data is collected through questionnaire distribution. The statistical technique is carried out using regression moderation. The results of this study prove that 1 Emotional intelligence in Islamic perspective has a positive and significant influence on affective commitment; and 2 “Diuwongke” in Islamic perspective can strengthen the relationship between emotional intelligence in Islamic perspective on affective commitmentRemiswal RemiswalMahmud MahmudSudirman SudirmanThis study aims to determine the effect of emotional intelligence and Islamic religious education learning on the religious behavior of students at SMA Adabiah I Padang. It is a field research field research using a quantitative approach and correlational methods with a population of all students in class XI and Class XII with the proportionate stratified random sampling technique, to obtain a sample of 86 students. Data were collected using a questionnaire and documentation and analysis techniques using the analysis requirements test, classical assumption test, and hypothesis testing. The results showed that first, emotional intelligence had a positive and significant influence on the Religious Behavior of Students at SMA Adabiah I Padang. This can be seen based on the value of the regression coefficient b1 or slope of and the value of Fount is greater than Ftable and the significance value is smaller than the value of α = While the contribution of Emotional Intelligence X1 to religious behavior Y is or secondly, Islamic Religious Education Learning has a positive and significant influence on the Religious Behavior of Students at SMA Adabiah I Padang. This can be seen based on the regression coefficient b2 or slope of and the value of Fcount is greater than Ftable and the significance value is smaller than the value of α = While the contribution of Islamic Religious Education Learning to Religious Behavior is or 21%, the three Emotional Intelligence and Learning Islamic Religious Education together simultaneously have a positive and significant influence on the Religious Behavior of Students at SMA Adabiah I Padang. This can be seen based on the value of the regression coefficient b1 or slope of and the value of the regression coefficient b2 or slope of and the value of Fcount is greater than Ftable and the significance value is more. smaller than the value α = While the contribution of Emotional Intelligence X1 and Learning Islamic Religious Education X2 together simultaneously to religious behavior Y is or performance is very important and crucial to the influence that the company will get, especially for companies engaged in services, the quality and quantity of a company really requires good performance from its employees / human resources. Social competence, emotional intelligence, and work motivation are things that can affect the increase or decrease in employee performance. And this research uses quantitative research methods conducted at construction companies in Jakarta, taken from 92 employees in construction companies in Jakarta, Indonesia. Data collection methods using primary data by distributing questionnaires. The result from data analysis by using structural equation modelling shows that social competence, emotional intelligence, and motivation has a positive impactto employee performance on construction companies in Jakarta, AzwarAzwar, Saifuddin. 2004. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta Pustaka An-NajatiAn-Najati, Utsman. 2000. Al-Qur'an dan Ilmu Jiwa. Bandung Penerbit Remaja antara Islam dan Ilmu JiwaSayyid Az-Za'balawiMuhammadAz-Za'balawi, Sayyid Muhammad. 2007. Pendidikan Remaja antara Islam dan Ilmu Jiwa. Jakarta Gema Insani 2004. Paradigma Psikologi Islami. Yogyakarta Pustaka Ihya' UlumuddinImam GhazaliGhazali, Imam. 2008. Ringkasan Ihya' Ulumuddin. Jakarta Sahara Intelligence Kecerdasan Emosional Mengapa EI lebih penting daripada IQDaniel GolemanGoleman, Daniel. 1996. Emotional Intelligence Kecerdasan Emosional Mengapa EI lebih penting daripada IQ. Jakarta PT Gramedia Pustaka Perkembangan Islami. Jakarta PT RajaGrafindo PersadaAliah B HasanPurwakaniaHasan, Aliah B. Purwakania. 2006. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta PT RajaGrafindo PersadaMenyucikan Jiwa Intisari Ihya' Ulumuddin Al-GhazaliSaid HawwaHawwa, Said. 1998. Menyucikan Jiwa Intisari Ihya' Ulumuddin Al-Ghazali. Jakarta Robbani Lamanya Tinggal di Lingkungan Pondok Pesantren Terhadap Kecerdasan Emosional Pada Santri Pesantren Daarul Ulum di BogorMuthmainahMuthmainah. 1998. Skripsi "Pengaruh Lamanya Tinggal di Lingkungan Pondok Pesantren Terhadap Kecerdasan Emosional Pada Santri Pesantren Daarul Ulum di Bogor". Bandung Fakultas Psikologi Unisba. Jangan Pandang anak sebelah mata. Foto VOI Indonesia Qur’an Surat Lukman 3112, Allah berfirman “ Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.” ———————– –Al Quran mengajarkan orang tua untuk mendidik anak menjadi generasi yang kuat, sebagaimana disebutkan dalam Surat Annisa 49 Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” Kita perlu mewariskan generasi yang kuat, dimulai dari anak-anak. Kuat disini mencakup empat aspek. Kuat dalam hal fisik, kuat dalam hal ilmu, kuat dalam hal iman tidak musyrik dan kuat dalam hal karakter atau akhlak. Anak-anak perlu kita beri makan yang bergizi baik, perlu diberikan makanan ilmu pengetahuan yang setinggi-tingginya, perlu diajari mengenai mengikis kemusyrikan dalam dirinya dan orang lain ingat musyrik kepemilikan, pengabdian, aturan, perlindungan/perilaku dan figur!, perlu diajari akhlak dan karakter yang sesuai dengan al Quran. Tujuan mendidik anak adalah agar mereka dapat menjadi generasi yang menjadi pemimpin atau imam bagi orang yang bertakwa, sebagaimana disebutkan dalam Surat Al Furqan 2574, Dan orang orang yang berkata “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. Menjadikan anak sebagai imam bagi orang-orang bertakwa berarti mendidik anak menjadi anak yang bertakwa terlebih dahulu, yaitu manusia yang selalu bersegera mohon ampun, bersedekah dalam kondisi lapang dan sempit, menahan amarah, memaafkan orang lain dan berbuat baik Surat Ali Imran 3133-134. Ajarkan Ke-esaan Allah Manusia yang memahami Al Quran tetap akan memikirkan nasib anak-anaknya,Manusia yang memahami Al Quran dan dirinya sedang mengalami sakratul maut, dia akan membuktikan kebenaran Al Quran bahwa pertanyaan manusia yang sedang sakratul maut adalah pertanyaan tentang tauhid apakah selama hidup kita sedang meng-esakan atau mempersekutukan Allah. Oleh karena itu, ketika orang ini kemudian memikirkan anaknya, yang terpikir bukanlah siapa yang memberikan rezeki, siapa yang menyekolahkan dan sebagainya, tetapi yang pasti terpikirkan adalah apakah bagaimana mereka akan tumbuh menjadi anak yang meng-esakan Allah bukan menjadi anak yang mempersekutukan Allah, sebagaimana disebutkan dalam Qur’an Surat Al-Baqoroh 133, Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan tanda-tanda maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” Ajaran kepada anak tentang meng-esakan Allah tidak hanya diajarkan ketika sedang sakratul maut, namun juga selama hidup kita, sebagaimana disebutkan dalam Qur’an Surat Lukman 3112, Allah berfirman “ Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.” Mengingat sangat pentingnya ini diajarkan kepada anak-anak, maka pada saat kematian menjemput pun, pesan inilah yang perlu disampaikan kepada anak-anak, istri dan kerabat. Apa yang terdapat di sisi kita ini pada suatu saat akan lenyap, yang abadi adalah nafs manusia, sebagaimana disebutkan dalam Qur’an Surat An Nahl 1696 yang artinya “Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. Rasa kekhawatiran untuk meninggalkan apa yang telah dititipkan Allah atas diri kita selama hidup ini akan menimbulkan perasaan memiliki dan sikap bakhil yang memperberat perpisahan kita dengannya, sebagaimana disebutkan dalam Qur’an Surat Ali Imran 3180 yang artinya “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan yang ada di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Jangan Berprasangka Buruk Jangan pernah berprasangka buruk kepada Tuhan bahwa rezeki anak dan istri kita adalah harus melalui saya sebagai seorang suami, sebagaimana disebutkan dalam Qur’an Surat Al Hijr 1520. “Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan Kami menciptakan pula makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya.” Boleh jadi sebenarnya rezeki itu adalah rezeki anak dan istri kita yang disalurkan Allah melalui diri kita dimana tanpa kita pun mereka akan mendapatkannya. Ada pertanyaan besar pada diri saya sendiri dan anda, masihkah kita merasa khawatir akan kematian? Kalau masih, berarti masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan dalam pembuktikan tauhid ini kepada Allah. */sumber artikel tulisan Sukardi SThi, fasilitator paham qurani - Alquran dapat berpengaruh besar terhadap jiwa dan kecerdasan. Prof Dr Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya “Mukzijat Alquran” telah “Cukup sudah pengetahuan semua orang terpelajar bahwa kehadiran Alquran ditengah-tengah masyarakat Arab pada 15 abad yang lalu. Telah menimbulkan pengaruh yang sedemikian besar dalam kehidupan manusia”.Alquran berarti “bacaan”, asal kata “Qara’a”. Dapat didefinisikan sebagai kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassalam melalui perantara Malaikat Jibril, untuk dijadikan pedoman bagi hidup memiliki bahasa yang indah dan agung namun dalam Alquran banyak ayat-ayat dalam sejumlah surah yang dicantumkan berulang-ulang kali. Hal ini membuat sarjana Barat atau orientalis ketika membaca Alquran menjadi bingung dan menganggapnya sebagai bacaan terberat di Amstrong dalam tulisannya “Muhammad Sang Nabi” menyebutkan “Orang Barat cenderung melihat Alquran penuh pengulangan yang membosankan. Namun sebenarnya Alquran tidak dirancang untuk dibaca secara menyendiri, melainkan untuk dibaca sebagai ibadah."Alquran ditulis dalam bahasa yang sangat indah, kompleks, padat dan penuh kiasan. Alquran tidak dimaksudkan untuk dibaca sebagaimana kitab lain, Alquran dibaca dengan merasakan kehadiran Tuhan”.Penelitian Terhadap AlquranJika Alquran dibaca secara tepat menurut penelitian ternyata berdampak besar bagi jiwa dan kesehatan tubuh. Dr. Al-Qadhi melalui penelitiannya yang panjang dan serius di Klinik Besar Florida Amerika Serikat berhasil dengan mendengarkan bacaan Alquran, seorang muslim baik yang mereka berbahasa Arab maupun bukan. Ternyata dapat merasakan psikologis yang sangat besar. Misalnya penurunan depresi, kesedihan, memperoleh ketenangan jiwa. Dan juga dapat menangkap berbagai penyakit, merupakan hal umum yang dirasakan yang menjadi objek tersebut ditunjang dengan bantuan peralatan elektronik terbaru. Yang bisa untuk mendeteksi tekanan darah, detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran hasil uji coba ia berkesimpulan, bacaan Alquran berpengaruh besar hingga 97% dalam melahirkan ketenangan jiwa dan menyembuhkan Alquran disampaikan dalam Konfrensi Kedokteran Islam Amerika Utara pada tahun 1984. Dr Nurhayati dari Malaysia pada tahun 1997 mengungkapkan penelitiannya bahwa bayi yang berusia 48 jam yang kepadanya diperdengarkan Alquran dari tape recorder. Ternyata menunjukan respon tersenyum dan menjadi lebih kita mendengarkan musik klasik dapat mempengaruhi kecerdasan Intelektual IQ dan kecerdasaan emosi EQ. Bacaan Alquran lebih dari itu, selain mempengaruhi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, bacaan Alquran mempengaruhi kecerdasan spiritual SQ.Alquran Dapat Mengetarkan Jiwa dan Menembus QolbuAyat-ayat Alquran yang dibaca akan mampu menembus jiwa seseorang sehingga ia akan merasakan kedamaian, dan kehadiran Tuhan dalam Qalbunya. Untuk lebih lengkap, lihat karya Imam Musbikin berjudul “Terapi Shalat Tahajud Bagi Penyembuhan Kanker”.Gibb dalam bukunya “Mohammadanisme” menuliskan “Tidak seorang pun dalam seribu lima ratus tahun telah memainkan alat bernada nyaring yang demikian mampu dan demikian berani dan demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya seperti apa yang dilakukan Muhammad melalui Alquran." Umar bin Khattab merasa akan kehadiran Tuhan dalam jiwanya sehingga ia benar-benar yakin bahwa Alquran benar-benar firman Alquran disebutkan “Sesungguhnya, orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah keimanan mereka, dan kepada Tuhan merekalah, mereka bertawakal”.Alquran Sebagai Ilmu PengetahuanPara Ulama dan intelektual muslim terdahulu menjadikan Alquran sebagai mahkota ilmu pengetahuan sehingga mereka dengan mudah mempelajari, menghafal, dan menguasai berbagai ilmu dan mendengarkan Alquran akan menambah daya ingat yang sangat kuat, disiplin, dan memiliki ketentraman jiwa. Intelektual yang jauh dari Alquran akan membuat hatinya mati sehingga walau ia berhasil mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Namun jiwanya akan terganggu yang akibatnya ia tidak memiliki moral dan etika dalam Qutb dalam bukunya yang terakhir berjudul “Ma’alim Fi Athariq” menyatakan bahwa setiap muslim yang menguasai Alquran maka Allah akan bukakan tabir dari orang tersebut sehingga ia mampu mengungkapkan rahasia-rahasia yang terkandung dalam inilah sebenarnya rahasia dibalik kecerdasan para Ulama dan Intelektual muslim generasi terdahulu yaitu mereka menguasai Alquran sehingga Allah membukakan berbagai ilmu pengetahuan yang belum diketahui manusia dan mereka diberikan keistimewaan oleh Allah telah menegaskan dalam Alquran surah al Baqarah ayat 282 "Tingkatkan takwamu pada Allah maka Allah akan ajarkan ilmu pengetahun". Oleh sebab itu, Ibnu Sina mengungkapkan agar anak menjadi secerdas dirinya yang harus dilakukan adalah ajarkan pada anak tersebut sejak usia 6 tahun sampai 14 berupa membaca dan menghafalkan Alquran selain itu ajarkan juga mengenai Fikih, Akhlak, hidup bersih, olahraga, setelah 14 tahun baru ajarkan ilmu yang sesuai bakatnya,Prof Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam.Tentu hal ini berbanding terbalik dengan kebanyakan orang tua sekarang, anak-anaknya sejak usia balita yang pertama diajarkan adalah bagaimana anak tersebut mahir bermain game online, mahir berhitung, dan mahir berbahasa adalah anak tersebut tidak dilatih memiliki kecerdasan intelektual, keceradasan spiritual dan kecerdasan emosional. Maka untuk itu, perbanyaklah membaca Alquran, renungi maknanya dan jadikan Alquran sebagai mahkota ilmu kita dapat menjadi muslim yang senantiasa memiliki ketenangan jiwa. Dan kita juga punya daya ingat yang kuat, cerdas secara intelektual dan spiritual serta berakhlak adalah Alumni Sekolah Tinggi Hukum Yayasan Nasional Indonesia STH-YNI, Pematangsiantar

ayat alquran tentang kecerdasan